Pemuda Adat Angkat Suara di Panggung Global, Siap Bawa Isu ke COP30 Brasil

4 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dulu suara Pemuda Adat kerap terabaikan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hutan, sungai, tanah, dan seluruh keanekaragaman hayati. Kini, generasi muda adat tampil di panggung konferensi global untuk menegaskan masa depan harus dibicarakan bersama.

Cindy Yohana dari Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) menegaskan Pemuda Adat memegang peran vital sebagai penerus nilai dan praktik leluhur. Mereka menjaga hutan, sungai, laut, dan tanah ulayat dengan berpegang pada kearifan lokal.

“Kearifan ini tidak hanya menjaga harmoni manusia dan alam, tetapi juga membuka potensi ekonomi berkelanjutan, misalnya pangan lokal, hasil hutan non-kayu, dan kerajinan tradisional,” kata Cindy dalam pernyataannya BPAN, Jumat (3/10/2025).

Pesan tersebut diperkuat dalam Global Youth Forum (GYF) yang berlangsung Juli lalu di Bali. Sabba Rani Maharjan, konsultan asal Nepal untuk Rights and Resources Initiatives (RRI), mengatakan forum seperti GYF menjadi ruang penting untuk membekali generasi muda adat. “Forum seperti ini memastikan pemuda dibekali, terhubung, dan diberdayakan untuk membela komunitas mereka serta memimpin perubahan transformatif,” katanya.

GYF menghadirkan lebih dari 50 pemimpin muda dari 27 negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Mereka berdialog lintas generasi dengan tetua dan tokoh pembela hak asasi manusia, sekaligus memperkuat jaringan dan kapasitas kepemimpinan. Hasil pertemuan itu akan dibawa Pemuda Adat ke forum iklim terbesar dunia, COP30 di Brasil, November mendatang.

Bagi Indonesia, pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia, suara Pemuda Adat di forum iklim menjadi kebutuhan mendesak. Mereka berada di garis depan menjaga wilayah adat yang peranannya vital untuk menekan krisis iklim. “Sebagai generasi muda, kita harus bersuara dan berperan aktif hingga terlibat secara bermakna dalam setiap forum pengambilan keputusan, bukan hanya ikut-ikutan saja,” kata Ketua BPAN Hero Aprila.

Pemuda Adat menghadapi tekanan besar dari arus globalisasi. Funa-ay Claver dari Asia Young Indigenous Peoples Network (AYIPN) menyoroti hak atas tanah dan penggusuran sebagai persoalan utama. “Pemuda Adat biasanya terdampak negatif, karena tidak menjadi prioritas dalam proses globalisasi. Pertumbuhan korporasi seringkali mengakibatkan pelanggaran hak atas tanah dan penggusuran,” katanya.

Kondisi serupa terjadi di Kongo. Elnathan Nkuli dari Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) menyebutkan penebangan liar dan pertambangan kerap diberikan konsesi tanpa konsultasi dengan Masyarakat Adat, memicu konflik dan kerentanan.

Meski demikian, globalisasi juga membuka peluang. Pendidikan, teknologi digital, dan jaringan lintas negara memberi ruang baru untuk memperkenalkan budaya. Hero menilai Pemuda Adat kerap kehilangan identitas, tetapi juga bisa memanfaatkan teknologi untuk menunjukkan praktik budaya seperti berburu, mengambil madu, atau berkebun.

BPAN bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendorong lahirnya sekolah adat di berbagai daerah. “Sekolah adat adalah ruang memerdekakan Masyarakat Adat, baik secara berpikir maupun bertindak. Kita bisa belajar di pinggir sungai, di hutan, atau di pantai, dengan tetua adat sebagai guru,” jelas Hero.

Program serupa juga dikembangkan di Kongo. CEPF melatih 200 perempuan dan pemuda adat dalam pengelolaan hutan berkelanjutan serta pertanian keluarga. Hasilnya, 80 persen peserta kini menggunakan teknik karbonisasi yang lebih baik, menekan deforestasi hingga 40 persen. Tiga koperasi lokal terbentuk untuk memproduksi briket ekologis, sementara dua komunitas sedang berjuang memperoleh kepastian hukum atas 10 ribu hektar lahan.

Di Filipina, AYIPN meluncurkan kampanye Indigenous Lands in Indigenous Hands (ILIH) untuk mendorong pemuda adat mempertahankan sumber daya alam dan hak menentukan nasib sendiri. Kampanye ini memperkuat jaringan di tingkat nasional dan membentuk pemimpin muda adat di berbagai negara.

BPAN membuka ruang kolaborasi dengan jaringan pemuda adat di negara lain. Bentuknya berupa pertukaran pengalaman, kampanye bersama, hingga advokasi di level internasional.

“Melalui kolaborasi ini, Pemuda Adat bisa saling belajar strategi menjaga budaya, melindungi wilayah adat, serta memperkuat posisi bersama menghadapi krisis global seperti perubahan iklim dan perampasan tanah,” ujar Cindy. 

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |