Pengungsi Palestina berkumpul di jalan pesisir dekat Wadi Gaza setelah pengumuman bahwa Israel dan Hamas telah menyetujui tahap pertama rencana, di Jalur Gaza tengah, Kamis, 9 Oktober 2025.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah penantian panjang yang dibayangi duka, ribuan pengungsi Palestina akhirnya bisa kembali menginjakkan kaki di tanah kelahiran mereka di Kota Gaza.
Sebagai sebuah wilayah yang telah hancur akibat perang panjang, Gaza pada akhir tahun 2025 kini sedang berhadapan dengan babak baru yang penuh ketidakpastian. Setelah gencatan senjata baru disepakati, warga sipil yang telah mengungsi mencoba kembali ke puing-puing rumah mereka, meskipun serangan sporadis masih terjadi.
Perang berkepanjangan telah meninggalkan kerugian yang sangat besar di Gaza, diperkirakan mencapai puluhan miliar dolar, dan hampir 90% wilayahnya telah hancur lebur. Puing-puing berserakan di mana-mana, sementara kelaparan dan krisis kesehatan terus melanda penduduk yang tersisa, membuat pemulihan ekonomi maupun sosial terasa seperti mimpi yang sangat jauh.
Kantor Media Pemerintah Gaza mencatat kerugian ekonomi total mencapai sekitar 70 miliar dolar AS pada awal Oktober 2025, mencakup kerusakan parah pada 15 sektor penting. Di tengah kehancuran ini, Bank Dunia dan PBB juga melaporkan bahwa infrastruktur penting saja mengalami kerugian hingga 18,5 miliar dolar.
Semua ini menjadikan Gaza bukan lagi sekadar wilayah yang sedang kesulitan, melainkan sebuah puing-puing raksasa yang membutuhkan waktu hingga puluhan tahun untuk bisa dibangun kembali.
Upaya pemulihan menghadapi tantangan besar karena sebagian besar infrastruktur telah rusak total, kelaparan masih membayangi, dan bantuan kemanusiaan yang masuk masih terbatas.
Meski demikian, sebuah kesepakatan gencatan senjata telah berlaku, disusul lampu hijau dari pemerintah Israel. Sejak Jumat pagi, aliran manusia mulai memenuhi Jalan Rashid dan Jalan Salah al-Din, dua jalur utama yang melintasi Jalur Gaza, membawa harapan di tengah puing-puing.
Para pengungsi itu menempuh perjalanan yang tak mudah. Mereka harus berjalan kaki, setidaknya sejauh tujuh kilometer, membawa barang seadanya. Bukan tanpa alasan mereka mengungsi. Mereka terpaksa meninggalkan rumah dan kenangan pahit setelah terus-menerus digempur serangan yang tiada henti. Banyak di antara mereka yang kembali ke jalan-jalan yang telah menjadi saksi bisu pembantaian, terutama di sepanjang Jalan Rashid.
sumber : Antara