Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah membentuk Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua.
Komite itu diketuai oleh Velix Wanggai dengan dibantu sembilan anggota. Mereka dilantik Presiden RI Prabowo Subianto pada Rabu (8/10) kemarin.
Mensesneg Prasetyo Hadi menyebut pembentukan komite khusus ini untuk membantu kerja Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BKP3) yang diketuai Wapres Gibran Rakabuming Raka sebagaimana amanat UU Otsus Papua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang hari ini dilantik adalah ketua dan anggota dari komite eksekutif tersebut yang akan bantu kerja badan pengarah yang diketuai Wapres," kata Pras di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (8/10).
Usai dilantik, Velix menyebut pembentukan komite itu karena Prabowo ingin komite tersebut dapat mengelola secara khusus agenda pembangunan di Papua.
Dalam waktu dekat, Velix akan melakukan konsolidasi kebijakan dan strategi di Papua. Terlebih Papua kini memiliki enam provinsi yang memerlukan keterpaduan dalam segala aspek.
"Karena tentu kita ingin dengan kehadiran 6 provinsi, ini membutuhkan langkah-langkah dan maksud besar itu langkah-langkah percepatan," ujarnya.
Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN Cahyo Pamungkas berpendapat komite eksekutif ini berpotensi tumpang tindih atau overlapping dengan BKP3.
Meskipun pemerintah menyebut komite eksekutif ini merupakan lembaga perbantuan bagi BKP3 dan secara hukum tidak tumpang tindih.
Namun, jika melihat komposisi anggotanya, Cahyo khawatir kedua lembaga itu justru tumpang tindih dan menghadapi dualisme.
"Secara politik ada potensi tumpang tindih, karena orang-orang di komite khusus ada pensiunan tentara/polisi. Kemudian politisi, dan birokrat," kata Cahyo kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/10).
Cahyo pun menyinggung 'celah' pasal di UU Otsus yang bisa dijadikan landasan komite eksekutif ini berdiri, yakni Pasal 68A ayat (3).
"Untuk mendukung pelaksanaan tugas badan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk lembaga kesekretariatan yang berkantor di Papua," bunyi Pasal 68A ayat (3).
Ia menyoroti nomenklatur dari lembaga tersebut, perbedaan antara Kesekretariatan dengan Komite Khusus.
Cahyo berpendapat UU Otsus mengamanatkan pembentukan kesekretariatan yang secara umum menjalani fungsi teknis belaka.
"Kalau kesekretariatan itu sebetulnya, fungsi-fungsi teknis, yang seperti sekretariat jenderal di DPR ini adalah fungsi-fungsi untuk melayani BKP3, saya tidak yakin komite khusus ini, hanya melayani BKP3," ucap dia.
"Dia mungkin juga, punya agenda khusus, yang bisa sama, bisa berbeda, dengan BKP3 itu, itu analisis saya sendiri," imbuhnya.
Berlandaskan itu, Cahyo pun melihat potensi dualisme kelembagaan antara BKP3 dengan komite eksekutif.
Ia mempertanyakan apakah pembentukan komite eksekutif memang untuk melemahkan BKP3.
"Apakah tujuan dari komite ini adalah untuk mengatasi bottleneck ya, masalah pembangunan dan otonomi khusus di Papua?" ucapnya.
Komposisi anggota jadi sorotan
Selain itu, Cahyo juga menyoroti komposisi anggota yang menggawangi komite tersebut.
Pertama, Cahyo menyoroti tiga anggota yang merupakan purnawirawan TNI/Polri, yakni eks Pangdam Cendrawasih Letjen Purn. Ignatius Yogo Triyono, Komjen Purn. Paulus Waterpauw selaku eks Kapolda Papua sekaligus eks Pj Gubernur, dan Letjen Purn Ali Hamdan Bogra yang merupakan eks Pangdam Kasuari.
Ia mengatakan kehadiran purnawirawan ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah masih akan menggunakan pendekatan konservatif dalam menangani persoalan di Papua.
"Peningkatan dialog untuk mengatasi konflik Papua. Dengan kehadiran para purnawirawan ini, ya tentu saja ada kekhawatiran, menimbulkan kekhawatiran bahwa pemerintah masih mempertahankan pendekatan-pendekatan konservatif untuk mengatasi persoalan Papua," ujar dia.
Namun di sisi lain menurutnya bisa saja keberadaan mereka itu guna memudahkan komunikasi dari komite eksekutif ini dengan pihak militer dan kepolisian di Papua.
Lalu, Cahyo juga menyoroti keberadaan politisi di dalam komite eksekutif tersebut.
Menurutnya, akan lebih baik jika komite tersebut diisi oleh birokrat yang non partisan.
Ia mengatakan bahwa politisi pasti membawa kepentingan politiknya masing-masing.
"Seharusnya tidak politisi, ya, [melainkan] orang yang tidak partisan, orang yang memiliki kredibilitas, bisa diterima oleh semua pihak ya," ucapnya.
Pentingnya pendekatan dialogis
Terpisah, pakar kebijakan publik Universitas Pamulang, Cusdiawan berpesan kepada pemerintah sekaligus Komite eksekutif tersebut agar tidak menggunakan pendekatan militeristik dalam menangani masalah di Papua.
Ia meminta pemerintah agar mengedepankan pendekatan dialogis.
"Yang perlu dilakukan oleh komite tersebut adalah mendorong dan mengedepankan penanganan masalah konflik Papua tadi dengan pendekatan dialogis," ujar Cus.
Cus menyatakan komite ini takkan berarti apa-apa jika pendekatan yang digunakan negara masih cenderung militeristik.
Ia mengatakan pendekatan militeristik hanya akan menghasilkan dendam sejarah yang berkepanjangan.
"Yang bukan hanya bisa memakan korban sipil tetapi juga aparat itu sendiri, dan dapat terus menaikkan eskalasi konfliknya, alih-alih meredamnya," katanya.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa dalam pendekatan dialogis itu persoalan di Papua harus didekati melalui dua aspek, yakni politik redistribusi dan politik rekognisi.
Ia menyatakan bahwa politik redistribusi ini menyangkut akan kesejahteraan di Papua, sedangkan politik rekognisi ialah perihal pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak kultural.
"Kita harus ingat, bahwa isu marjinalisasi terhadap Papua selama ini bukan hanya menyoal ketimpangan, tetapi juga diskriminasi terhadap budaya," ucap dia.
"Pandangan di atas, mengandung implikasi bahwa negara pun perlu mengoreksi dan atau mengevaluasi berbagai program kebijakan yang bisa meminggirkan dua aspek tersebut," imbuhnya.
Ia pun mencontohkan misalnya dalam kebijakan proyek strategis nasional yang memangkas hutan adat masyarakat Papua, hal itu justru kontradiktif dengan yang dicita-citakan lewat Otsus sendiri.
Menurutnya peminggiran terhadap hak ekonomi dan kultural, terlebih lagi tanah bagi masyarakat adat bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materiil hidup, tetapi juga bernilai secara spiritual, hanya akan menghasilkan krisis legitimasi yang semakin besar dari masyarakat Papua terhadap negara.
"Jadi selama ini, baik pada kepemimpinan pemerintahan sebelumnya maupun hingga hari ini, ada pola pendekatan yang salah dalam menangani masalah Papua, dan diperlukan evaluasi secara kritis dan terukur untuk mengatasi masalah tersebut," ujar dia.
(mnf/wis)