Generasi Z: Bersuara Lewat Konten, Bukan Lagi Lewat Orasi

5 hours ago 2

Image Nandana Osadhi Retisalya

Teknologi | 2025-06-27 16:50:45

Ketika Narasi Bergeser ke Layar
Zaman terus berubah, begitu juga cara anak muda menyampaikan pendapat. Jika dahulu aspirasi menggema lewat pengeras suara di jalanan, kini suara itu muncul dalam bentuk video berdurasi satu menit, postingan infografik yang panjang penuh argumen. Generasi Z tidak lagi merasa perlu turun ke jalan untuk menyuarakan isu sekarang cukup buka kamera, rekam opini, unggah ke media sosial seperti TikTok, dan biarkan algoritma bekerja.

Perubahan cara menyuarakan opini ini bukan semata soal kemalasan atau ketidakpedulian terhadap isu sosial. Justru sebaliknya, ini adalah bentuk baru dari aktivisme yang lebih inklusif, lebih kreatif, dan lebih adaptif terhadap zaman yang serba digital.

Kenapa Generasi Z Memilih Konten Digital?

Berikut beberapa alasan kenapa Generasi Z memilih konten digital dalam mengutarakan pendapatnya:

  1. Media Sosial: Panggung Demokratis Baru

Tidak seperti panggung politik atau media arus utama yang seringkali elitis, media sosial memberi semua orang ruang bicara. Mau kamu siswa SMA, ibu rumah tangga, atau mahasiswa tingkat akhir, semua orang bisa menyampaikan aspirasi yang sama kuatnya.

  1. Jangkauan Luas, Efek Instan

Satu konten bisa viral dalam waktu singkat. Pesan sosial yang dikemas apik bisa menyentuh jutaan orang, bahkan lintas negara. Ini membuat perjuangan tidak lagi terbatas secara geografis. Kampanye #BlackLivesMatter atau #TolakOmnibusLaw menjadi bukti betapa kekuatan konten bisa menggerakkan publik secara masif.

  1. Kreativitas Adalah Senjata Baru

Generasi Z tahu bahwa pesan yang kuat perlu dikemas dengan cerdas. Maka lahirlah aktivisme melalui meme, animasi, puisi digital, hingga parody lipsync. Kreativitas menjadi jembatan agar isu serius lebih mudah dipahami dan diterima berbagai lapisan.

Tantangan Aktivisme Digital

Tentu tidak semua pihak menyambut baik perubahan ini. Ada anggapan bahwa aktivisme konten hanyalah bentuk "aktivisme instan" atau "slacktivism" sekedar klik, share, tanpa aksi nyata. Kritik ini valid, apalagi jika konten hanya digunakan demi "engagement", bukan kesadaran.

Ada juga risiko disinformasi. Banyak opini dibagikan tanpa cek fakta, menyebabkan bias dan kebingungan. Karena itu, literasi digital menjadi kunci agar suara-suara yang lahir dari generasi ini tetap berdampak dan bertanggung jawab.

Apakah Masih Perlu Turun ke Jalan?

Perdebatan ini terus berlangsung. Apakah mengunggah video bisa menggantikan kekuatan aksi massa? Atau sebaliknya, apakah demo fisik masih relevan di era digital? Jawabannya mungkin bukan memilih salah satu, tapi merangkul keduanya. Dunia fisik dan digital bukan lawan, tapi mitra. Banyak gerakan dimulai dari konten digital, lalu menjelma jadi gerakan nyata dan begitu pula sebaliknya. Hal terpenting bukanlah medianya, tapi niat dan konsistensi di balik pesan yang dibawa.

Aktivisme Kini Tak Lagi Harus Bersuara Keras

Generasi Z telah mengubah wajah aktivisme. Bersuara tidak harus berteriak, dan perubahan tidak selalu dimulai dari kerumunan. Di tangan anak muda, satu video bisa membentuk opini publik, satu utas bisa membongkar ketidakadilan, dan satu konten

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |