Ilmu untuk Menjaga Kedaulatan

2 hours ago 1

Oleh : Mohammad Nur Rianto Al Arif; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia, Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pidato Presiden Prabowo Subianto yang meminta para profesor, akademisi, dan pakar Indonesia menggunakan ilmu serta kepintarannya untuk menyelamatkan kekayaan bangsa seolah menjadi gema baru di tengah hiruk-pikuk perjalanan bangsa ini. Kalimatnya terdengar sederhana, namun makna yang terkandung di dalamnya jauh lebih dalam daripada sekadar ajakan. Beliau menyimpan kegelisahan, harapan, sekaligus tantangan besar bagi masa depan Indonesia.

Indonesia sering dipuji sebagai negeri yang kaya. Dari tambang emas, nikel, dan batubara, hingga hutan tropis dan laut yang luas, hampir semua ada di sini. Namun, kekayaan itu tidak otomatis menjelma kesejahteraan. Masih banyak rakyat yang hidup dalam kesulitan, masih banyak kekayaan yang bocor keluar negeri, dan masih banyak keputusan strategis yang diwarnai kepentingan jangka pendek.

Di titik inilah, Presiden Prabowo berbicara lantang bahwa bangsa ini butuh ilmu untuk menjaga kedaulatannya. Beliau paham bahwa semangat nasionalisme tidak cukup bila tidak dibarengi penguasaan pengetahuan, riset, dan teknologi. Tanpa ilmu, kekayaan itu hanya akan menjadi “kutukan sumber daya” (resource curse). Dengan ilmu, kekayaan alam bisa menjadi “berkah demografis dan ekonomi” yang mengantar Indonesia menuju kejayaan.

Jika ditelisik lebih dalam, pidato Presiden Prabowo membawa pesan tersirat yang amat penting. Pertama, ada kritik halus terhadap kondisi pengelolaan kekayaan bangsa saat ini. Banyak sektor masih belum optimal, mulai dari pertambangan yang kerap menimbulkan kebocoran hingga pangan yang masih bergantung impor. Pidato itu adalah alarm, tanda bahwa ada yang harus segera diperbaiki.

Kedua, ada ajakan untuk kemandirian ilmu. Selama ini, tak jarang bangsa kita masih mengandalkan konsultan asing dalam menyusun kebijakan besar. Padahal, Indonesia memiliki ratusan profesor, ribuan doktor, dan ratusan ribu akademisi yang seharusnya bisa menjadi pilar intelektual bangsa.

Ketiga, pidato itu menegaskan pentingnya etika akademik dan nasionalisme intelektual. Prabowo ingin mengingatkan bahwa ilmu bukan hanya alat untuk mengejar gelar atau publikasi internasional, melainkan alat perjuangan. Ilmu harus berpihak kepada rakyat, membantu negara menjaga dan mengelola kekayaannya dengan adil.

Dan keempat, pidato tersebut menyiratkan agenda besar reformasi kebijakan. Menggunakan ilmu untuk menyelamatkan kekayaan bangsa artinya membicarakan tata kelola sumber daya alam, strategi industrialisasi, pengembangan teknologi, hingga perbaikan birokrasi.

Dengan kata lain, pidato itu bukan sekadar seruan moral, melainkan peta jalan menuju kedaulatan ekonomi Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana seruan itu bisa diwujudkan dalam langkah nyata? Terdapat beberapa strategi yang bisa ditempuh.

Pertama, akademisi harus benar-benar dilibatkan dalam proses kebijakan nasional. Bayangkan bila setiap rancangan undang-undang strategis atau proyek besar negara dilandasi kajian akademik yang mendalam. Pemerintah bisa membentuk dewan pakar lintas disiplin, berisi profesor dan peneliti terbaik bangsa, yang terhubung langsung dengan Presiden. Dengan begitu, keputusan negara tidak lagi hanya berbasis kalkulasi politik, melainkan hasil riset yang matang.

Kedua, tata kelola sumber daya alam harus direformasi secara serius. Hilirisasi tidak boleh berhenti pada jargon. Nikel, bauksit, dan timah misalnya, harus diolah di dalam negeri, menciptakan industri yang membuka lapangan kerja. Begitu pula hasil hutan dan laut, harus dikelola secara berkelanjutan. Sistem digital bisa digunakan untuk memantau penerimaan negara, menutup celah kebocoran, dan memastikan keuntungan masuk ke kas nasional, bukan ke kantong segelintir kelompok.

Ketiga, kolaborasi antara kampus, industri, dan pemerintah harus diperkuat. Konsep triple helix yaitu universitas sebagai pusat riset, industri sebagai pengembang, dan pemerintah sebagai fasilitator harus benar-benar dijalankan. Kampus tidak boleh hanya menjadi menara gading. Ia harus menjadi inkubator teknologi yang melahirkan inovasi pangan, energi, digital, hingga pertahanan.

Keempat, kedaulatan teknologi harus dijadikan pilar utama pembangunan. Selama ini Indonesia terlalu bergantung pada teknologi impor. Jika hal ini dibiarkan, kita akan terus berada di posisi lemah. Maka, investasi besar perlu diarahkan ke riset energi terbarukan, pengolahan mineral kritis, hingga teknologi digital seperti AI dan keamanan siber.

Kelima, nasionalisme intelektual harus ditumbuhkan kembali. Para profesor dan akademisi harus menyadari bahwa ilmu yang mereka miliki adalah bagian dari perjuangan kebangsaan. Publikasi internasional memang penting, tetapi kontribusi nyata pada negeri jauh lebih berharga. Riset harus berpihak pada rakyat, bukan hanya pada kepentingan korporasi atau pesanan proyek asing.

Keenam, transparansi dan partisipasi publik harus diperkuat. Rakyat berhak tahu ke mana perginya kekayaan bangsa. Pemerintah bisa membangun dashboard digital penerimaan negara, membuka akses data pengelolaan SDA, dan mengedukasi masyarakat melalui literasi ekonomi. Dengan begitu, rakyat bisa ikut menjadi pengawas.

Dan ketujuh, generasi muda akademisi harus diberdayakan. Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan profesor senior. Peneliti muda, mahasiswa, dan intelektual muda perlu diberi ruang. Program khusus semacam “Profesor Muda untuk Bangsa” bisa menjadi jembatan agar anak-anak muda berbakat terlibat langsung dalam proyek strategis negara.

Namun, seruan seindah apa pun tidak akan mudah diwujudkan. Terdapat sejumlah tantangan besar yang menghadang. Pertama, budaya akademik kita masih sering terkotak-kotak. Banyak akademisi sibuk dengan dunia mereka sendiri, mengejar publikasi internasional, sementara masalah bangsa tidak tersentuh. Hubungan antara kampus dan dunia kebijakan masih lemah.

Kedua, ketergantungan pada teknologi asing masih sangat kuat. Hampir semua mesin industri, perangkat digital, hingga teknologi pertahanan, masih kita beli dari luar negeri. Membebaskan diri dari ketergantungan ini butuh waktu panjang dan investasi besar.

Ketiga, resistensi dari oligarki ekonomi tidak bisa dianggap enteng. Setiap kali ada reformasi tata kelola SDA, pasti ada pihak yang merasa dirugikan. Mereka punya jaringan politik dan modal besar untuk melawan perubahan.

Keempat, anggaran riset Indonesia masih rendah. Dibandingkan negara-negara maju, dana riset kita jauh tertinggal. Tanpa keberanian meningkatkan anggaran, sulit membangun kemandirian ilmu.

Kelima, kesenjangan kapasitas antar kampus juga menjadi persoalan. Sebagian besar riset kuat hanya terkonsentrasi di universitas besar di Jawa, sementara kampus di daerah masih tertinggal. Dan keenam, masalah integritas. Ilmu bisa saja dipelintir, data bisa dimanipulasi, bila integritas peneliti dan birokrasi lemah. Korupsi adalah musuh utama yang bisa menggagalkan agenda sebesar apa pun.

Pidato Prabowo tentang pentingnya peran profesor dan pakar untuk menyelamatkan kekayaan bangsa seharusnya tidak berhenti sebagai retorika. Ia harus menjadi gerakan nasional. Gerakan yang melibatkan kampus, industri, pemerintah, dan masyarakat. Gerakan yang menjadikan ilmu sebagai senjata utama, bukan sekadar hiasan di ruang seminar.

Tantangan memang berat. Tetapi sejarah bangsa ini selalu menunjukkan bahwa kita bisa bangkit ketika ilmu dipadukan dengan semangat kebangsaan. Para pendiri bangsa adalah contoh nyata bagaimana intelektual bisa menjadi motor perubahan. Kini, estafet itu harus dipegang oleh generasi akademisi hari ini.

Pada akhirnya, pertanyaan besar yang harus kita jawab bukanlah apakah Indonesia kaya, tetapi apakah kita mampu menjaga dan mengelola kekayaan itu untuk rakyat. Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah Indonesia benar-benar berdiri sebagai bangsa berdaulat, atau sekadar menjadi pasar dan penyedia bahan mentah bagi bangsa lain.

Seruan Prabowo adalah ajakan untuk memilih jalan pertama yaitu menjadi bangsa berdaulat, dengan ilmu sebagai fondasinya. 

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |