Ketika Keadilan Bertemu Kearifan: Pelajaran dari Musibah Mushalla Pesantren Al Khoziny Buduran

4 hours ago 1

Dirjen Cipta Karya KemenPU Dewi Chomistriana (tengah) dan jajaran didampingi pengasuh Ponpes Tremas melakukan audit kelaikan bangunan Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur, Jumat (10/10/2025). KemenPU bersama Kemenko Pemberdayaan Manusia menargetkan audit konstruksi bangunan tua 80 ponpes besar dengan jumlah santri di atas 1000 orang di seluruh Indonesia tuntas hingga akhir 2025 untuk mencegah insiden rubuhnya bangunan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo terulang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kadang, hukum tak hanya bicara tentang benar atau salah. Ada kalanya hukum bicara tentang hati — tentang bagaimana manusia memulihkan luka tanpa menambah luka baru. Itulah yang disebut restorative justice, atau keadilan restoratif.

Istilah ini mungkin terdengar berat, tapi maknanya sederhana: hukum yang bukan sekadar menghukum, melainkan menyembuhkan. Ia mengembalikan keseimbangan, menumbuhkan maaf, dan memulihkan hubungan antar manusia yang sempat retak.

Awal Oktober 2025, publik sempat dikejutkan oleh runtuhnya mushalla di Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo. Tragedi itu bukan hanya tentang bangunan yang roboh, tapi juga tentang ujian bagi keikhlasan dan empati. Di tengah riuhnya komentar warganet, Prof. Mahfud MD—pakar hukum tata negara sekaligus santri—menulis di media sosialnya tentang keadilan dan kearifan.

Ia tahu betul, pesantren tak dibangun dalam semalam. Tiang-tiangnya berdiri dari sumbangan yang datang setetes demi setetes. Kadang cukup untuk satu ruang, kadang hanya sebatas satu lantai. Prosesnya bertahap, ikhlas, dan sering kali tanpa perencanaan teknis rumit. Bukan karena abai, tapi karena keikhlasan memang tak punya proyek besar, hanya niat besar.

Dari sinilah Mahfud mengingatkan: hukum perlu memandang kasus semacam ini dengan kearifan. Restorative justice bukan berarti menutup mata terhadap pelanggaran, tapi melihat niat dan konteks. Seperti halnya polisi yang memilih merehabilitasi pecandu narkoba daripada langsung memenjarakannya. Tujuannya bukan menghapus hukuman, tapi memulihkan manusia.

Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 bahkan membuka ruang itu—penyelesaian kasus ringan bisa dilakukan lewat musyawarah mufakat. Karena tak semua kesalahan perlu dibalas dengan dinding jeruji; sebagian cukup dengan kesadaran dan perbaikan.

Indonesia sendiri adalah mozaik dari ribuan suku, agama, dan budaya. Dalam keberagaman sebesar itu, hukum tak bisa kaku. Ia harus lentur seperti bambu—tegas menegakkan kebenaran, tapi cukup arif untuk tidak patah saat diterpa perbedaan.

sumber : Antara

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |