Muhammad Tawab, S.Fil.I, M.Pd. - Guru MAN 3
Agama | 2025-06-27 19:10:13

Di detik-detik pergantian tahun nyaris tiap orang rela berjaga malam suntuk, lalu meluapkan rasa bahagia dengan aneka tradisi ketika saat-saat yang ditunggu itu tiba yakni Tahun Baru Islam. Bahagia terhadap momen-momen tertentu merupakan sesuatu yang sangat manusiawi. Begitu pula dalam momen pergantian tahun hijriyah ini.
Islam mengajarkan kehidupan dunia adalah ladang yang mesti ditanam dengan serius untuk masa panen di akhirat kelak. Karena itu waktu dunia adalah bersifat sementara, fana', sedangkan waktu di akhirat adalah kekal abadi. Islam tidak mengutamakan kehidupan akhirat di atas kehidupan dunia demikian pula sebaliknya. Dua kehidupan tersebut dipadukan sebagaimana Alquran menggambarkan kehidupan tersebut.
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS. al-Ankabut: 64)
Ungkapan dalam ayat tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa kehidupan dunia ini tidak sejati, tidak awet, tidak kekal, dan penuh dengan tipuan. Karena itu, maknanya justru seseorang harus lebih banyak mencurahkan perhatian kepada kehidupan akhirat. Alquran telah memberikan pedoman bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56)
Waktu terus berjalan, masa kecil telah pergi dengan momen yang takkan terulang kembali. Pun mengulang, hanya tempat dan suasananya tidak seperti kala itu. Manusia dituntut untuk memaksimalkan waktu atau kesempatan yang diberikan untuk amal perbuatan yang baik, sehingga tak menyesal di kehidupan kelak.
Kehidupan ini sudah disetting sedemkian rupa sehingga seri demi seri, periode demi periode, sudah berjalan teratur bahkan pasti terjadi tanpa meleset dari skenario tuhan. Namun, manusia memang dibekali komponen piranti software nafsu dan syahwat, sehingga hal yang jelas niiscaya berubah menjadi kabar lalu bahkan dianggap sendau gurau.
Maka wajar ketika selesai shalat dianjurkan memperbanyak istighfar. Apa alasannya, padahal setelah melakukan kebaikan justru disuruh minta maaf? Hal ini menjadi kesadaran bahwa ketika di dalam shalat seseorang tentu bergejolak pikiran dan ingatan selain yang disembah, sehingga covernya seperti ibadah, dalam pikirannya penuh sampah dunia. Maka wajar ketika Sahabat Ali mengikuti lomba shalat kyusu', di akhir rukunnya terlintas hadiah apa yang akan diberikan Rasulullah nanti. Sahabat adalah orang yang sudah dijamin masuk surga, kita?
Orang-orang yang menyesal di akhirat digambarkan oleh Alquran merengek- rengek minta kembali agar bisa memperbaiki diri. “(Demikianlah keadaan orang-orang yang durhaka itu) hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.” (QS Al-Mu’minun: 99-100)
Imam Al-Ghazali mengatakan, ketika seseorang disibukkan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dalam kehidupannya, sesungguhnya ia sedang menderita kerugian yang besar. Sebagaimana dalam kitab Ayyuhal Walad:
"Pertanda bahwa Allah ta'ala sedang berpaling dari hamba adalah disibukkannya hamba tersebut dengan hal hal yang tak berfaedah. Dan satu saat saja yang seseorang menghabiskannya tanpa ibadah, maka sudah pantas ia menerima kerugian yang tak berkesudahan.”
Ibnu Athaillah mengatakan,
رب عمر اتسعت اماده وقلت امداده ورب عمر قليلة اماده كثيرة امداده
"Kadang umur berlangsung panjang namun manfaat kurang maksimal. Kadang pula umur berlangsung pendek namun manfaat melimpah."
Itulah kriteria gambaran orang yang pantas bahagia di akhirat kelak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.