REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengkritisi rencana pemerintah menggunakan APBN untuk membangun ulang Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, yang roboh pada 29 September 2025 dan menyebabkan puluhan santri meninggal dunia. Menurut Achmad, rencana penggelontoran dana negara tersebut kurang bijak di tengah munculnya dugaan kelalaian dalam insiden tersebut.
“Publik bertanya, apakah pantas dana APBN digunakan untuk membangun kembali Pesantren Al-Khoziny yang ambruk, padahal indikasi awal menunjukkan ada kelalaian konstruksi? Pertanyaan ini menyentuh batas antara empati sosial dan tanggung jawab fiskal,” kata Achmad dalam keterangannya, dikutip Jumat (10/10/2025).
Achmad mengatakan, negara tentu wajib hadir menolong para korban, namun tanggung jawab kemanusiaan tidak boleh meniadakan prinsip akuntabilitas. Ia menekankan bahwa kebenaran harus ditegakkan dan empati tidak boleh menutupi kelalaian.
“Jika keruntuhan terjadi akibat bencana alam, tentu logis bila negara menyalurkan dana darurat. Tapi bila disebabkan oleh kesalahan manusia —kelalaian kontraktor, pelanggaran standar bangunan, atau pengawasan yang lemah— maka negara tidak bisa langsung menjadi ‘penebus dosa’,” tuturnya.
Oleh karena itu, Achmad menilai langkah pertama yang semestinya dilakukan adalah investigasi menyeluruh, bukan pembangunan ulang. Jika ditemukan unsur kelalaian, proses hukum wajib berjalan. Setelah semuanya jelas, pemerintah boleh membantu dengan prinsip reconstruction with responsibility atau membangun sambil membenahi tata kelola.
Lebih lanjut, Achmad menjelaskan bahwa APBN bukanlah dana sosial yang dapat digunakan hanya karena rasa kasihan. APBN merupakan amanah konstitusi yang diatur Pasal 23 UUD 1945 untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena itu, setiap penggunaannya harus memenuhi asas efisiensi, keadilan, dan keterbukaan.
Menggunakan APBN tanpa audit penyebab, kata dia, bisa menjadi preseden berbahaya karena seolah semua kesalahan dapat dimaafkan dengan uang negara. Padahal fungsi APBN adalah menjaga disiplin fiskal dan mendorong tata kelola yang baik. Jika negara terlalu mudah menalangi kelalaian, publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap prinsip keadilan fiskal.
“Bantuan negara sah diberikan bila tujuannya untuk kepentingan publik, seperti peningkatan mutu pendidikan, sanitasi, atau digitalisasi. Namun untuk pembangunan fisik akibat kelalaian internal, logika fiskalnya berbeda,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pesantren memang berperan besar dalam bidang pendidikan dan sosial, tetapi secara hukum tetap merupakan lembaga privat. Pemerintah harus memastikan batas yang jelas antara solidaritas publik dan penyelamatan lembaga privat.
“Ketika alasan yang digunakan adalah ‘kondisi darurat nasional’, maka harus ada dasar hukum yang kuat. Darurat tidak boleh menjadi dalih untuk melangkahi prosedur,” tegasnya.
Achmad menambahkan, apabila pihak pesantren belum mempertanggungjawabkan dana atau belum diaudit, penggunaan APBN justru berpotensi melanggar asas kehati-hatian dan menimbulkan moral hazard institusional. Hal ini bisa membuat lembaga lain merasa aman berbuat lalai karena yakin akan diselamatkan negara.
Sebelumnya diketahui, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum (PU) akan membangun ulang Gedung Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, yang sebagian bangunannya ambruk dan menewaskan 63 orang. Menteri PU Dody Hanggodo menjelaskan bahwa langkah yang akan dilakukan bukan sekadar revitalisasi, tetapi pembangunan kembali seluruh gedung pesantren dari awal.
“Perkiraan saya, waktu ke lokasi kemarin, bangunan yang warna hijau itu justru lebih murah kalau dirobohkan dan dibangun baru dari nol daripada kita tambal sulam,” ujar Dody di Kantor Kementerian PU, Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Terkait besaran anggaran, Kementerian PU masih melakukan perhitungan bersama pihak terkait. Dody memastikan pembangunan akan menggunakan dana dari APBN, namun tidak menutup kemungkinan adanya dukungan swasta.
“Kalau soal anggaran, insya Allah cukup dari APBN. Tapi tidak menutup kemungkinan ada bantuan dari swasta,” kata Dody.
Ia menambahkan, seharusnya anggaran untuk pondok pesantren berada di bawah Kementerian Agama. Namun karena musibah ini termasuk kondisi darurat, Kementerian PU mengambil alih tanggung jawab pelaksanaan pembangunan.
“Biasanya anggaran ponpes ada di Kementerian Agama. Tapi karena ini darurat, yang di Sidoarjo kami tangani,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar yang hadir dalam kesempatan itu menyampaikan, pemerintah akan membuka layanan hotline bagi masyarakat untuk melaporkan kondisi bangunan sekolah atau pondok pesantren yang rawan ambruk.
“Kita akan buka hotline, nanti diumumkan nomornya. Tolong disampaikan kepada masyarakat, pesantren-pesantren yang merasa rawan bisa konsultasi lewat layanan itu,” ujar Muhaimin.