
REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Pertambangan di pulau kecil melanggar UU No. 27 Tahun 2007, khususnya Pasal 35 dan 73. Green Faith Indonesia menyoroti transisi energi yang diklaim ramah lingkungan, justru menghadirkan bencana baru.
Studi Nexus Foundation (Juli 2024) menemukan logam berat berbahaya—merkuri dan arsenik—di tubuh ikan dan darah warga Teluk Weda.
Bahkan kadar logam berat di tubuh warga lebih tinggi dari pekerja industri. Ini adalah bentuk ketidakadilan ekologis. Kondisi kesehatan warga memburuk. Kasus ISPA melonjak dari 434 (2020) menjadi 10.579 kasus pada 2023, ditambah 500 kasus diare per tahun.
Untuk itu, Green Faith Indonesia bersama para tokoh agama dan masyarakat adat menyerukan pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) di seluruh pulau kecil di Indonesia.
Seruan ini menanggapi pencabutan empat IUP di Raja Ampat oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, yang dinilai belum cukup untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan yang terus terjadi.
Direktur Green Faith Indonesia, Hening Parlan, menyatakan bahwa pertambangan di pulau-pulau kecil mempercepat kehancuran ekosistem dan memperparah krisis iklim.
“Sebagai bangsa kepulauan, kita memiliki amanah spiritual dan konstitusional untuk menjaga lebih dari 10 ribu pulau kecil. Dalam Alqur’an ditegaskan, 'Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya' (QS. Al-A’raf: 56). Maka, mencabut seluruh IUP yang merusak adalah bentuk taat kepada Allah,” tegas Hening, lewat keterangan tertulisnya.
Ia kembali mengingatkan, pertambangan di pulau kecil juga melanggar UU No. 27 Tahun 2007, khususnya Pasal 35 dan 73.
“Pemerintah tak boleh berhenti di Raja Ampat. Cinta tanah air berarti melindungi seluruh pulau-pulau kecil dari rakusnya eksploitasi,” desaknya.
Ia menilai tambang nikel untuk industri mobil listrik malah menambah penderitaan rakyat dan kerusakan alam. Data Forest Watch Indonesia menyebutkan 5.700 hektare hutan hilang di Maluku Utara sejak 2021.
“Transisi energi seharusnya selaras dengan nilai keadilan ekologis, bukan menciptakan kezaliman baru atas nama kemajuan,” jelas Hening.
Dalam ajaran Hindu, konsep Tri Hita Karana menekankan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan. “Apa yang dilakukan tambang hari ini melanggar keseimbangan itu. Ketika bhuwana agung (alam semesta) dirusak, maka bhuwana alit (jiwa manusia) pun ikut tercemar,” ungkap Hening.
Soal Raja Ampat, Perasaaan Uskup Tercabik-cabik
Uskup Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru OSA, menyatakan kesedihan mendalam atas kerusakan lingkungan di Raja Ampat dalam khotbah Misa Hari Raya Pentakosta pada 8 Juni 2025 di Gereja Katedral Tiga Raja, Timika, Papua Tengah.
“Perasaan saya tercabik-cabik. Raja Ampat yang selama ini dimuliakan sebagai mahakarya ciptaan Tuhan, kini dilukai kerakusan manusia,” ujarnya.
Ia mengecam aktivitas tambang nikel sebagai bentuk kekerasan terhadap alam dan masyarakat Papua, dan menyebutnya sebagai bagian dari "ketamakan oligarki" yang menghancurkan keharmonisan antara manusia dan ciptaan Tuhan.
Pdt. Prof. Binsar Pakpahan, Ph.D, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta (STFT Jakarta) menyebut eksploitasi sumber daya alam secara membabi buta sebagai buah dari keserakahan struktural yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.
"Gerakan hidup ugahari—hidup cukup dan sederhana—harus menjangkau dunia korporasi dan pengambil kebijakan. Tidak cukup hanya berkhotbah di mimbar gereja, tetapi juga harus menyuarakan perlawanan terhadap sistem yang menormalisasi perusakan lingkungan,” tegasnya. Ia mengingatkan bahwa alam adalah titipan Tuhan yang harus dipelihara, bukan dijarah atas nama pertumbuhan ekonomi.
“Tuhan menciptakan bumi ini sebagai rumah bersama, bukan sebagai ladang eksploitasi. Ketika keserakahan mengambil alih nurani, maka umat beriman wajib berdiri membela ciptaan,” jelas dia.
Pedih Lihat Pemimpin Tak Berpihak pada Lingkungan
Dari Muslim, Roy Murtadho, pengasuh Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar menyampaikan kepedihannya melihat banyak pemimpin yang tidak mencerminkan pandangan yang tidak berpihak pada masyarakat dan lingkungan.
“Seharusnya banyak pemimpin bangsa ini berjuang untuk melindungi ekosistem, bukan justru membela kepentingan tambang,” tegasnya.
Sebab, lanjutnya, ini menunjukkan dilema etika yang menunjukkan bahwa ada kesenjangan pemahaman antara kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan.
“Dampak negatif mencakup kerusakan habitat, pencemaran, dan penurunan kualitas air yang ini mengandung konsekuensi jangka panjang pada lingkungan dan generasi.” ungkap Roy.
Romo Ferry Sutrisna Widjaja Imam Katolik yang bekerja di Eco Camp Bandung yang dikelola Yayasan Sahabat Lingkungan Hidup yang bersifat lintas agama mengingat Paus Fransiskus dalam Laudato Si yang bertanya dunia macam apa yang akan kita tinggalkan bagi anak cucu kita generasi yang akan datang?
Apakah hati kita masih bisa mendengarkan jeritan alam yang dirusak dan jeritan masyarakat lokal yang dirugikan eksploitasi pertambangan ekstraktif khususnya di pulau-pulau kecil yang tidak bertanggungjawab?
Pertanyaan mendalam dari Romo Ferry, terkait penambangan di pulau-pulau kecil.
Putu Ardana, Adat Dalem Tamblingan juga ikut menyampaikan empati dan keprihatinannya. Berkaca dari masyarakat adat dampingannya yang sudah sangat tua yang disebut Masyarakat Adat Dalem Tamblingan (MADT).
Mereka memiliki Prasasti Ugrasena yang bertarikh 922 M yang didalam prasasti tersebut meyakini adanya keimanan masyarakat adat tersebut juga unik yang disebut “Piagem Gama Tirta”, keimanan yang memuliakan air dan menjaga harmoni dengan alam.
Lokasi-lokasi pegunungan dan masyarakat adat di berbagai wilayah tanah air termasuk di Raja Ampat pasti memiliki kearifan lokal dalam menjaga bumi dan kemudian rusak karena industri.
Sedangkan Upasaka Titha Sukho dari Pengerak Peduli Generasi Agama Budha menyampaikan, merusak hutan tempat tinggal para makhluk berarti menentang Dhamma dan menanam benih penderitaan atau karma buruk.
Sebab merusak hutan sama saja kita menghancurkan tempat tinggal, tempat mencari makan untuk hidup.
Dalam agama Buddha jelas melarang manusia merusak hutan atau alam karena itu melanggar aturan moral dan menimbulkan penderitaan.
Baik bagi diri sendiri atau semua makhluk sebagaimana dalam Jataka 247 (tittira jataka) Buddha yang menjelaskan bahwa manusia harus melindungi hewan-hewan dan alam yang ada untuk keberlangsungan kehidupan dan tanpa menimbulkan penderitaan baru.
Republika