Diplomasi Islam dan Perdamaian Dunia

3 hours ago 2

Presiden Indonesia Prabowo Subianto berpidato di sidang ke-80 Majelis Umum PBB, Selasa, 23 September 2025.

Oleh : Prof. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 menjadi momentum penting dalam diplomasi Indonesia.

Bukan hanya karena ini adalah kali pertama dalam satu dekade seorang presiden Indonesia kembali berpidato di forum dunia tersebut, tetapi juga karena pesan yang dibawanya: perdamaian, solidaritas, dan komitmen konkret melalui kontribusi pasukan dan bantuan kemanusiaan. Pidato itu ditutup dengan salam lintas agama (“Assalamu’alaikum, Shalom, Om Shanti, Namo Budaya”) yang secara simbolis menegaskan wajah plural dan damai Indonesia. Di balik simbolisme itu, terdapat ranah diplomasi yang lebih luas, yakni bagaimana Indonesia mengartikulasikan posisinya di dunia Islam.

Indonesia memiliki peluang besar untuk memainkan peran sebagai jembatan diplomasi Islam global. Seperti diungkapkan James Hoesterey (2013), para diplomat Indonesia telah mampu memanfaatkan reputasi demokratis dan Islam moderat untuk meningkatkan profil Indonesia sebagai mitra bagi dunia Islam maupun Barat.

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, demokrasi relatif stabil, dan tradisi Islam moderat yang terawat melalui organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, Indonesia memiliki legitimasi moral yang jarang dimiliki negara lain. Pidato Prabowo yang menegaskan dukungan pada solusi dua negara (Palestina dan Israel) di Palestina sekaligus pengakuan atas hak Israel untuk hidup berdampingan dan damai. Indonesia tetap berpihak pada keadilan bagi Palestina, namun tidak menutup pintu dialog dengan pihak lain. Pendekatan seperti ini dapat menjadi ciri khas diplomasi non-blok Indonesia baik bagi dunia Muslim maupun Barat.

Dunia saat ini semakin terpecah oleh persaingan antarnegara yang lebih mengutamakan kepentingan dan penyelamatan masing-masing. Lembaga internasional seperti PBB kian kehilangan wibawanya, sementara kekuatan teknologi dan persenjataan dimanfaatkan bukan untuk menjaga stabilitas, melainkan sebagai alat penindasan dan tekanan. Kondisi ini mendorong lahirnya blok-blok baru yang berfokus pada penguatan militer, sedangkan kekuatan ekonomi dipergunakan sebagai senjata lain untuk melemahkan negara lain melalui berbagai instrumen, termasuk penerapan tarif, demi memaksakan kepentingan pihak yang lebih dominan.

Laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2024 mencatat sejumlah kasus penggunaan instrumen perdagangan, mulai dari larangan impor, pencabutan preferensi tarif, hingga tarif antidumping, secara koersif oleh negara kuat terhadap mitranya, sebagaimana terlihat pada ketegangan dagang yang berujung pada kerugian ekonomi signifikan bagi negara sasaran.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |