Mengapa Obat yang Sama Bisa Beda Efek pada Tiap Orang

5 hours ago 3

Image Rita Maliza

Riset dan Teknologi | 2025-10-11 20:02:04

Perbedaan dramatis dalam respons terapi, misalnya, dua pasien dengan diagnosis serupa mengonsumsi dosis obat yang sama, namun yang satu pulih optimal sementara yang lain menderita efek samping yang parah atau kurangnya efikasi, menyoroti fakta bahwa tubuh manusia tidak memproses obat secara seragam. Fenomena variabilitas individual ini mendasari munculnya farmakogenomik. Cabang ilmu ini secara spesifik menginvestigasi bagaimana susunan genetik seseorang memengaruhi jalur metabolisme obat, target obat, dan respons klinis secara keseluruhan. Dengan mengintegrasikan data genetik, farmakogenomik memungkinkan pendekatan kedokteran presisi, yang membantu tenaga kesehatan untuk menentukan obat yang paling tepat, dengan dosis yang paling optimal, bagi pasien yang paling membutuhkannya”.

Ilustrasi tes genetik kini membantu menentukan dosis dan jenis obat yang paling sesuai bagi setiap pasien. Photo by Volodymyr Hryshchenko on Unsplash

Dari “Satu Ukuran untuk Semua” ke Pengobatan Presisi

Selama puluhan tahun, dunia medis mengandalkan prinsip “satu obat cocok untuk semua.” Namun kenyataannya, hingga 50 persen pasien tak mendapat efek optimal dari obat yang diresepkan. Sebagian malah mengalami reaksi berbahaya (adverse drug reactions), yang di Amerika Serikat bahkan menjadi penyebab kematian keempat terbesar.

Kini paradigma itu mulai bergeser. Alih-alih sekadar mencoba dan menunggu hasil, dokter bisa memanfaatkan informasi genetik pasien untuk memprediksi apakah suatu obat akan bekerja dengan baik atau justru berisiko.

Gen yang Menentukan Nasib Obat

Setiap orang membawa variasi gen yang memengaruhi bagaimana tubuh menyerap, memetabolisme, dan membuang obat. Salah satu yang paling banyak diteliti adalah kelompok gen CYP450, khususnya CYP2D6 dan CYP2C19.

Enzim-enzim ini bekerja seperti “pabrik pengolah obat” di hati. Pada sebagian orang, “pabrik” ini beroperasi terlalu lambat, menyebabkan obat menumpuk dan menimbulkan toksisitas. Sebaliknya, ada juga yang terlalu cepat sehingga obat keburu dibuang sebelum sempat bekerja.

Akibatnya, pasien dengan gen “lambat” bisa mengalami overdosis, sementara yang “super cepat” tak merasakan efek apa-apa. Fenomena ini disebut fenotipe metabolizer, dan menjadi dasar untuk menentukan dosis personal.

Contoh Nyata di Klinik

Farmakogenomik bukan lagi konsep masa depan; ia sudah diterapkan dalam praktik medis dunia.

· Warfarin, sebagai obat antikoagulan (pengencer darah), memiliki rentang terapeutik yang sempit dan memerlukan dosis yang sangat individual untuk setiap pasien. Variasi genetik pada gen seperti CYP2C9 (yang memetabolisme warfarin) dan VKORC1 (target aksi obat) merupakan kontributor utama terhadap perbedaan kebutuhan dosis ini. Individu dengan varian gen tertentu mungkin memerlukan dosis yang jauh lebih rendah, dan jika diberikan dosis standar, mereka berisiko tinggi mengalami kelebihan antikoagulasi yang dapat menyebabkan perdarahan serius atau bahkan fatal. Meskipun penyesuaian dosis rutin dilakukan berdasarkan pemantauan International Normalized Ratio (INR), pengujian genetik dapat menjadi alat yang berguna untuk memprediksi kebutuhan dosis awal secara lebih akurat, berpotensi mempercepat pencapaian kadar terapeutik yang stabil dan mengurangi risiko komplikasi perdarahan pada masa inisiasi terapi.

· Klopidogrel adalah prodrug yang memerlukan aktivasi metabolik oleh enzim hati, terutama CYP2C19, untuk menghasilkan metabolit aktif yang berfungsi sebagai antiplatelet. Individu yang membawa varian gen CYP2C19 yang menyebabkan hilangnya fungsi (loss-of-function alleles), yang dikenal sebagai Intermediate atau Poor Metabolizer, tidak dapat mengubah klopidogrel secara efisien. Akibatnya, mereka mengalami hambatan agregasi trombosit yang tidak memadai, membuat obat menjadi tidak efektif, dan secara signifikan meningkatkan risiko kegagalan pengobatan seperti stent thrombosis dan serangan jantung atau stroke berulang, terutama pada pasien dengan Sindrom Koroner Akut atau yang telah menjalani pemasangan stent. Karena risiko klinis ini, pedoman farmakogenetik sering merekomendasikan penggunaan agen antiplatelet alternatif (seperti prasugrel atau ticagrelor) untuk pasien dengan genotipe metabolizer yang buruk.

Dengan mengetahui profil genetik pasien, dokter bisa menyesuaikan dosis atau mengganti obat yang lebih aman.

Tak Hanya Gen: Usia, Polifarmasi, dan Gaya Hidup

Genetik hanyalah satu bagian dari puzzle. Faktor lain seperti usia lanjut, penyakit hati atau ginjal, hingga interaksi antarobat turut memengaruhi cara tubuh bereaksi.

Pada lansia misalnya, fungsi hati dan ginjal yang menurun dapat memperlambat pembuangan obat, mirip seperti efek “gen lambat.” Sementara itu, kebiasaan merokok atau konsumsi makanan tertentu juga bisa mengubah aktivitas enzim metabolisme obat.

Menuju Era “Tes Gen Sebelum Resep”

Di masa depan, tes genetik mungkin menjadi langkah rutin sebelum dokter menulis resep. Negara-negara maju mulai menerapkan pendekatan pengujian preemptif, pemeriksaan DNA dilakukan lebih awal agar hasilnya bisa digunakan berulang kali untuk berbagai obat.

Meski masih mahal, banyak studi menunjukkan bahwa pengujian farmakogenomik justru menghemat biaya kesehatan dalam jangka panjang, karena mencegah efek samping berat dan kegagalan terapi.

Tantangan dan Harapan di Indonesia

Penerapan farmakogenomik di Indonesia masih terbatas. Tantangan utamanya meliputi biaya tes, kurangnya laboratorium tersertifikasi, dan minimnya tenaga medis yang memahami interpretasi hasil genetik.

Namun potensi manfaatnya besar, terutama di negara dengan keragaman genetik tinggi seperti Indonesia. Data lokal penting agar pengobatan presisi tidak hanya berbasis populasi Eropa, melainkan relevan bagi masyarakat kita sendiri.

Farmakogenomik membuka babak baru dunia medis: dari pengobatan berbasis rata-rata menuju pengobatan berbasis individu. Dengan memahami “kode unik” dalam tubuh, dokter bisa meminimalkan trial-and-error, mencegah efek samping berbahaya, dan memberi terapi yang benar-benar personal.

Masa depan kedokteran bukan lagi tentang mencoba-coba, tetapi tentang memberikan terapi yang tepat sasaran berdasarkan peta genetik masing-masing individu. Lantas, sudah siapkah kita menyambut era di mana 'peta genetik' menjadi bagian dari kartu identitas kesehatan kita?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |