REPUBLIKA.CO.ID, PALU, – Organisasi masyarakat sipil dari Sulawesi hingga Papua menyerukan moratorium izin tambang mineral dan batubara. Seruan ini disampaikan dalam diskusi bertajuk urgensi moratorium izin tambang di Palu, Sabtu, yang diinisiasi oleh Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Regional Sulawesi–Papua.
Peneliti PWYP Indonesia, Ariyansah Kiliu, menjelaskan bahwa komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris seharusnya menjadi dasar untuk mengurangi aktivitas pertambangan, terutama batubara. Produksi batubara sudah jauh melampaui batas 400 juta ton per tahun, sebagaimana ditetapkan dalam RUEN, dan diproyeksikan mencapai 800 juta ton pada 2024.
Seruan ini muncul di tengah meningkatnya aktivitas eksploitasi tambang setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), serta diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025, yang membuka peluang lebih luas bagi berbagai pihak untuk memperoleh izin tambang.
Masalah Pertambangan di Sulawesi
Di Sulawesi Tengah, Yayasan Kompas Peduli Hutan (KoMIU) menilai aktivitas pertambangan belum memberikan dampak ekonomi signifikan bagi masyarakat. Ufudin dari KoMIU menyebutkan bahwa justru muncul konflik sosial, kerusakan infrastruktur, banjir, deforestasi, dan krisis air bersih. Dia pun meminta pemerintah pusat mempertimbangkan moratorium izin tambang di seluruh daerah.
Direktur WALHI Sulteng, Sunardi Katili, menegaskan bahwa moratorium penting dilakukan karena kerusakan ekologis dan pelanggaran HAM akibat tambang semakin parah.
Dukungan dari Wilayah Lain
Di Sulawesi Selatan, Direktur Eksekutif YASMIB Sulawesi, Rosniaty Panguriseng, menilai moratorium sangat relevan dengan arah pembangunan daerah dan komitmen nasional menuju ekonomi hijau. "Moratorium bukan langkah anti-investasi, melainkan upaya memperbaiki tata kelola agar pembangunan tidak menukar kesejahteraan rakyat dengan kerusakan lingkungan," katanya.
Dukungan juga datang dari LePMIL Sulawesi Tenggara. Direktur LePMIL, Solihin, menyoroti masalah tata kelola pertambangan, mulai dari perizinan hingga dampaknya terhadap masyarakat adat dan lingkungan.
Situasi Genting di Papua
Di Papua, Direktur PERDU Papua, Risdianto, menekankan pentingnya moratorium izin tambang di Papua Barat dan sekitarnya. Banyak kasus pertambangan di daerah seperti Raja Ampat dan Manokwari menunjukkan situasi yang genting. "Moratorium diperlukan untuk memastikan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan keberlanjutan lingkungan," katanya.
Konten ini diolah dengan bantuan AI.
sumber : antara