Di Manakah Allah 'Azza Wajalla?

4 hours ago 3

Image Salsabiil Firdaus

Agama | 2025-10-11 20:14:20

Sumber: Pusat Kajian Hadits Indonesia.

Pertanyaan “Di Manakah Allah?” bukan sekadar soal lokasi, tetapi inti dari keimanan terhadap tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah. Di zaman yang penuh relativisme teologis, sebagian kalangan menilai bahwa menanyakan “Di Manakah Allah?” adalah bentuk dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), atau dianggap tidak pantas karena Allah tidak berada di mana pun. Padahal, generasi terbaik umat ini, yakni para salafush shalih memahami dan menetapkan bahwa Allah berada di atas langit, di atas ‘Arsy, tinggi dan beristiwa’ di atasnya dengan cara yang layak bagi keagungan-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Para salaf, yakni para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, memahami sebagaimana yang datang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa Allah berada di atas langit, beristiwa’ di atas ‘Arsy, tinggi di atas seluruh makhluk-Nya, namun ilmu dan kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. Inilah akidah yang murni, lurus, dan bebas dari tahrif (penyelewengan), ta’thil (peniadaan sifat), dan tasybih (penyerupaan), serta ta’wil-ta’wil yang menyeleweng.

Dalil dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an dengan tegas menyebutkan dalam banyak ayat bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. Allah ‘Azza wajalla berfirman,

اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى ۝٥

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah beristiwa’ di atas ‘Arsy.” (QS. Thaha: 5)

Kata istawa dalam bahasa Arab, menurut para ahli bahasa dan tafsir salaf, bermakna ‘ala wa irtafa’a’ (berada di atas dan tinggi). Hal ini ditegaskan oleh Imam Al-Baghawi dalam Ma’alim at-Tanzil dan Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Tidak ada satu pun sahabat atau tabi’in yang menafsirkan istawa sebagai menguasai (istawla) seperti penafsiran kalangan Jahmiyyah dan Mu’tazilah belakangan.

Selain itu, dalam ayat lain disebutkan,

ءَاَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَاۤءِ اَنْ يَّخْسِفَ بِكُمُ الْاَرْضَ فَاِذَا هِيَ تَمُوْرُۙ ۝١

Apakah kalian merasa aman terhadap (Allah) yang di atas langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?” (QS. Al-Mulk: 16)

Kata fis-samaa’ dalam ayat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala dalam Majmu’ al-Fatawa, bukan berarti Allah berada di dalam langit, akan tetapi menunjukkan ketinggian dzat-Nya di atas makhluk, di atas langit tertinggi. Hal ini adalah bentuk penetapan sifat ‘uluw (ketinggian) bagi Allah sebagai sifat yang diakui oleh seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Dalil dalam As-Sunnah

Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menjadi bukti paling jelas tentang akidah salaf dalam menjawab “Di Manakah Allah?”. Diriwayatkan dari sahabat Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,

Dahulu aku memiliki seorang budak wanita yang menggembalakan kambing-kambing milikku di daerah antara gunung Uhud dan Jawwaniyyah. Suatu hari aku menelitinya, ternyata ada seekor serigala yang membawa seekor kambing dari kambing-kambing budak wanita itu. Aku adalah manusia biasa, aku terkadang marah sebagaimana juga mereka pun marah. Maka aku menamparnya dengan sangat keras. Kemudian aku mendatangi Rasulullah ﷺ. Kemudia Nabi ﷺ menyatakan hal itu perkara yang besar terhadapku.

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا قَالَ ائْتِنِي بِهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ لَهَا أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah aku merdekakan dia?” Nabi ﷺ bersabda, “Bawa dia kepadaku”. Maka aku pun membawanya (budak wanita) menghadap beliau. Kemudian Nabi ﷺ bertanya kepadanya, “Di manakah Allah?” Wanita itu pun menjawab, “Di atas langit”. Nabi ﷺ bertanya lagi, “Siapakah saya?” Wanita itu menjawab, “Engkau adalah utusan Allah”. Lalu beliau bersabda, “Merdekakan dia, sesungguhnya dia seorang wanita mu’minah.” (HR. Muslim no. 537)

Hadis ini secara tegas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ mengakui kebenaran jawaban bahwa Allah berada di atas langit, dan menjadikannya sebagai tanda keimanan yang benar. Seandainya pertanyaan “Di manakah Allah?” tidak boleh ditanyakan atau maknanya salah, tentu Nabi ﷺ akan mengingkari atau meluruskannya.

Perkataan Para Ulama

Imam Malik bin Anas rahimahullahu ta’ala, ketika ditanya tentang ayat “Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa”, beliau menjawab,

اْلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، وَمَا أَرَاكَ إِلاَّ ضَالاًّ

Makna istiwa’ itu diketahui, bagaimana caranya tidak diketahui, mengimaninya wajib, dan bertanya tentang ‘bagaimana’-nya adalah bid’ah.” (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam al-Asma’ wa ash-Shifat)

Ucapan Imam Malik bin Anas ini menjadi landasan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yakni menetapkan sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya tanpa tahrif (mengubah makna), tanpa ta’thil (menolak), tanpa takyif (membagaimanakan), dan tanpa tasybih (menyerupakan).

Syaikhu Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa juga menjelaskan,

أَهْلُ السُّنَّةِ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ اللَّهَ فَوْقَ سَمَاوَاتِهِ، عَلَى عَرْشِهِ، بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ، وَهُمْ مَعَ ذَلِكَ يَقُولُونَ: إِنَّهُ مَعَ خَلْقِهِ أَيْنَ مَا كَانُوا، يَعْلَمُ مَا هُمْ عَامِلُونَ.

Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Dan bersamaan dengan itu, mereka mengatakan bahwa Allah bersama makhluk-Nya di mana pun mereka berada dan Dia mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Majmu’ al-Fatawa, 3/305)

Begitu pula Imam adz-Dzahabi dalam al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar menyebutkan ijma’ salaf bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan tinggi di atas seluruh makhluk, dan menolak ta’wil-ta’wil yang menyimpang yang muncul dari kalangan Jahmiyyah.

Makna dari Ma’iyatullah

Dalam pembahasan tentang ‘uluwullāh, yakni ketinggian Allah ‘Azza wajalla di atas seluruh makhluk-Nya sering muncul kesalahpahaman dari sebagian kelompok yang tidak memahami secara benar sifat lain dari Allah, yaitu ma‘iyyatullah (kebersamaan Allah dengan makhluk). Mereka mengira bahwa sifat ma‘iyyah berarti Allah berada di mana-mana, bercampur dengan makhluk, atau menyatu dengan alam. Padahal ini adalah keyakinan yang batil dan bertentangan dengan akidah para salafush shalih.

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama‘ah menegaskan bahwa sifat ma‘iyyah sama sekali tidak menafikan ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya, karena dua sifat ini berjalan beriringan tanpa kontradiksi. Allah beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya dengan ketinggian dan kemuliaan-Nya, namun Dia bersama makhluk-Nya dengan ilmu, pengawasan, dan kekuasaan-Nya. Inilah makna kebersamaan yang hakiki sebagaimana dipahami oleh para salafush shalih. Ada dua macam ma’iyyatullah (kebersamaan Allah) yakni,

Pertama, Ma’iyyah ‘Ammah (kebersamaan umum) yakni kebersamaan Allah yang meliputi seluruh makhluk-Nya, baik yang beriman maupun kafir. Kebersamaan ini bersifat umum, dalam arti Allah mengetahui segala sesuatu yang dilakukan oleh makhluk-Nya, mendengar, melihat, serta menguasai mereka dengan kekuasaan dan ilmu-Nya. Sebagaimana Allah ‘Azza wajalla berfirman,

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِى الْاَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاۤءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَاۗ وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌۗ ۝٤

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian, Dia berkuasa atas ʻArsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya serta apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa makna ayat ini bukanlah Allah bersama mereka secara dzat, tetapi bersama mereka dengan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu. Hal ini juga ditegaskan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala dalam Majmu‘ al-Fatawa, bahwa Ahlus Sunnah meyakini Allah berada di atas langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, dan terpisah dari makhluk-Nya, namun bersama makhluk dengan ilmu-Nya. Sehingga, kebersamaan yang dimaksud dalam ayat ini adalah ma‘iyyah ‘ilmiyyah, yaitu kebersamaan dalam pengetahuan, pengawasan, dan pengaturan Allah atas makhluk-Nya, bukan kebersamaan dalam tempat.

Kedua, Ma’iyyah Khashshah (kebersamaan khusus) yakni kebersamaan Allah dengan hamba-hamba pilihan-Nya, yakni orang-orang beriman, bertakwa, dan berbuat ihsan. Kebersamaan ini bermakna pertolongan, bimbingan, dan penjagaan dari Allah. Sebagaimana firman-Nya,

اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَّالَّذِيْنَ هُمْ مُّحْسِنُوْنَࣖ ۝١٢٨

Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128)

Ayat ini menunjukkan bentuk ma‘iyyah khaṣhṣhah, di mana Allah bersama hamba-Nya dengan memberikan taufik, hidayah, dan pertolongan. Inilah kebersamaan yang menenangkan hati para pejuang iman dan penyeru dakwah, sebagaimana Allah ‘Azza wajalla bersama Nabi Musa ‘Alaihissalam dan Nabi Harun ‘Alaihissalam saat menghadapi Fir‘aun yang termaktub dalam firman-Nya,

قَالَ لَا تَخَافَآ اِنَّنِيْ مَعَكُمَآ اَسْمَعُ وَاَرٰى ۝٤٦

Dia (Allah) berfirman, Janganlah kamu berdua khawatir! Sesungguhnya Aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan melihat.” (QS. Thaha: 46)

Maka jelaslah bahwa kebersamaan Allah dengan makhluk tidak berarti keberadaan-Nya di setiap tempat, namun kebersamaan dalam makna ilmu, pengawasan, dan pertolongan, sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Urutan ayat ini menunjukkan bahwa istiwa’-Nya Allah di atas ‘Arsy ditegaskan terlebih dahulu sebelum disebutkan ma‘iyyah, sehingga jelas bahwa ma‘iyyah tidak menafikan ‘uluw. Inilah akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah yang lurus yang meyakini Allah di atas ‘Arsy, tinggi di atas makhluk-Nya, namun bersama hamba-hamba-Nya dengan ilmu dan pengawasan-Nya.

Bantahan terhadap Syubhat

Sebagian kalangan berpendapat bahwa Allah tidak di mana-mana ataupun ada di mana-mana sebagai bentuk tanzih (penyucian). Padahal, pandangan ini justru menafikan keberadaan Allah sebagai Dzat yang Maha Tinggi dan beristiwa’, sebagaimana ditegaskan dalam nash dalil. Pandangan seperti ini berakar dari pemikiran filsafat Yunani dan teologi Jahmiyyah, bukan dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala membantah pandangan tersebut dalam Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, bahwa mengatakan Allah tidak di atas dan tidak di bawah, tidak di kanan dan tidak di kiri, berarti telah meniadakan keberadaan-Nya secara hakiki, karena sesuatu yang tidak berada di mana pun adalah sesuatu yang tidak ada.

Sementara Imam Abu Hanifah rahimahullahu ta’ala dalam al-Fiqh al-Akbar menjelaskan,

مَنْ قَالَ لَا أَدْرِي رَبِّي فِي السَّمَاءِ أَمْ فِي الْأَرْضِ فَقَدْ كَفَرَ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى، وَعَرْشُهُ فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتٍ

Barangsiapa berkata, Aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi, maka sungguh ia telah kafir, karena Allah Ta‘ala berfirman ‘Ar-Rahmān ‘alā al-‘Arsy istawā, dan ‘Arsy-Nya berada di atas tujuh langit.” (Al-Fiqh Al-Akbar)

Dengan demikian, pandangan bahwa Allah ada di mana-mana adalah bentuk ta’thil terhadap sifat Allah, bukan bentuk penyucian. Justru penyucian yang benar adalah menetapkan apa yang Allah tetapkan bagi diri-Nya, tanpa menyerupakan dan tanpa menolak.

Kembali kepada Aqidah Salaf

Aqidah bahwa Allah berada di atas ‘Arsy, tinggi di atas seluruh makhluk-Nya, adalah bagian dari keimanan yang paling mendasar, sebagaimana diyakini oleh para sahabat, tabi’in, dan ulama salaf. Seiring perkembangan zaman, ketika pemahaman tauhid sering kabur oleh narasi filosofis dan modernis yang rasionalistik, umat Muslim harus berani meneguhkan aqidah salaf ini, bukan dengan fanatisme buta, melainkan dengan landasan ilmiah, dalil, dan hujjah yang kokoh.

Kembali kepada pemahaman salaf berarti kembali kepada kemurnian iman, iman yang tidak ditafsirkan oleh logika spekulatif, tetapi tunduk kepada wahyu yang suci dan hujjah yang pasti. Karena hanya dengan itu, umat Muslim dapat menjawab dengan sangat yakin ketika ditanya, “Di Manakah Allah?” Allah berada di atas ‘Arsy, tinggi di atas seluruh makhluk-Nya, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.

Wallahu A’lam bi Shawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |