
REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Mengenang kisah-kisah Tabiin, sama nikmatnya dengan kisah-kisah para Sahabat Nabi.
Sebagai pengingat, para Tabiin adalah umat Muslim yang hidup setelah generasi Sahabat Nabi, yaitu orang yang bertemu dengan Sahabat Nabi dalam keadaan beriman dan meninggal dunia dalam keadaan Islam.
Mereka generasi penerus yang belajar dari para Sahabat, namun tidak pernah bertemu langsung dengan Rasulullah. Generasi Tabiin ini diikuti generasi Tabi'ut Tabi'in, orang-orang yang hidup sezaman dengan Tabi'in. Meski tak pernah berjumpa Rasul, tapi mereka masuk tiga generasi terhebat sepanjang sejarah.
Dikisahkan, usai wafatnya Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, tongkat kepemimpinan Daulah Umayyah berpindah kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sosok yang dikenal adil dan zuhud.
Salah satu langkah awalnya melakukan reformasi besar-besaran di jajaran pemerintahan dan mengganti para gubernur di wilayah strategis kekhalifahan.
Salah satu pejabat baru yang dilantik yakni as-Samah bin Malik al-Khaulani, yang diberi tanggung jawab memimpin seluruh wilayah Andalusia (kini Spanyol dan Portugal) serta sebagian wilayah Prancis yang telah ditaklukkan.
Langkah reformasi ini tercatat dalam catatan sejarah Islam klasik (Tarikh al-Andalus, Ibn al-Quthiyah, ed. Beirut 1997) sebagai bagian dari “pembersihan birokrasi” pada awal abad ke-8 M, masa ekspansi Islam yang mencapai puncaknya di Eropa Barat.
Pertemuan dengan Tabi’in Besar: Abdurrahman al-Ghafiqi
Tiba di Spanyol, as-Samah bin Malik menanyakan siapa di antara penduduk setempat yang termasuk generasi tabi’in senior. Ia diperkenalkan kepada seorang tokoh besar bernama Abdurrahman al-Ghafiqi, murid langsung dari Abdullah bin Umar bin Khaththab.
Abdurrahman dikenal mashyur sebab keilmuannya dalam hadits dan fiqih. Selain itu, keberaniannya dalam jihad, dan keteguhan iman serta zuhud terhadap dunia.
Catatan sejarah Ibn Katsir (Al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid 9) menyebut Abdurrahman sebagai “Panglima yang menjadikan jihad bukan sekadar strategi, tapi ibadah.”
Perang Toulouse: Ujian Besar Pasukan Islam di Eropa
Pada masa kepemimpinan as-Samah bin Malik, pasukan Islam mencapai wilayah Toulouse, ibu kota Octania di Prancis Selatan. Serangan dilancarkan dengan taktik baru dan persenjataan canggih yang belum pernah disaksikan pasukan Eropa sebelumnya.
Namun, setelah pertempuran sengit selama empat pekan, as-Samah bin Malik gugur terkena anak panah di garis depan. Kekalahan ini mengguncang pasukan Islam.
Tapi di tengah kekacauan itu, muncul sosok penyelamat: Abdurrahman al-Ghafiqi, yang segera mengambil alih komando dan menyelamatkan sisa pasukan.
Menurut sejarawan Prancis Édouard Gibbon dalam The History of the Decline and Fall of the Roman Empire, pertempuran Toulouse (721 M) menjadi salah satu titik balik besar dalam sejarah Eropa. Gibbon menulis:
“Seandainya pasukan Islam tidak dipimpin oleh sosok sebijak al-Ghafiqi, mungkin seluruh Andalusia akan kehilangan kekuatan militernya di bumi Eropa.”
Diangkat sebagai Gubernur Andalusia
Setelah laporan kekalahan itu sampai ke Damaskus, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menunjuk Abdurrahman al-Ghafiqi sebagai gubernur baru Andalusia. Beliau diberi otoritas penuh atas wilayah Spanyol dan Prancis yang telah ditaklukkan.
Sebagai pemimpin baru, beliau segera melakukan langkah-langkah strategis. Antara lain, menindak para pejabat yang korup dan mengembalikan hak rakyat kecil, mengembalikan gereja-gereja yang dirampas secara zalim.
Selain itu, membangun infrastruktur pertahanan seperti jembatan Cordova yang legendaris, panjangnya sekitar 800 hasta (±450 meter), dan disebut UNESCO sebagai salah satu warisan arsitektur Islam tertua di Eropa. Langkah-langkah ini memperlihatkan al-Ghafiqi bukan hanya Panglima, tapi juga administrator visioner.
Reformasi Militer dan Sosial di Andalusia
Selama dua tahun, al-Ghafiqi melakukan modernisasi militer. Beliau melakukan produksi senjata dalam negeri, membangun benteng pertahanan di sepanjang Sungai Guadalquivir, melakukan pelatihan pasukan reguler dan pasukan berkuda elite (fursan).
Beliau juga aktif berdialog dengan pemuka agama Kristen (dzimmi) dan bangsawan lokal untuk menjaga stabilitas politik. Catatan Ibn Hayyan dalam Al-Muqtabis fi Tarikh al-Andalus menyebutkan bahwa al-Ghafiqi “berjalan di antara kaum Muslimin dan dzimmi seperti seorang ayah di tengah anak-anaknya.”
Strategi dan Kejatuhan Pengkhianat
Namun, tidak semua pejabat loyal. Salah satu komandan perbatasan, Utsman bin Abi Nus’ah, melakukan pelanggaran serius dengan menculik putri Duke Octania bernama Minin. Ia menikahinya tanpa izin, lalu membuat perjanjian damai pribadi dengan musuh.
Al-Ghafiqi menegaskan perintahnya: “Perjanjian tanpa izin pemimpin adalah batil.”
Beliau lantas mengirim pasukan khusus yang akhirnya menewaskan pengkhianat itu. Kisah ini menjadi pelajaran disiplin dan loyalitas militer dalam Islam, sebagaimana dijelaskan oleh sejarawan kontemporer Dr. Raghib as-Sirjani dalam Qishshat al-Andalus (Dar al-Bayan, 2015).
Warisan Sejarah Abdurrahman al-Ghafiqi
Kepemimpinan Abdurrahman al-Ghafiqi menjadi fondasi penting bagi kejayaan Islam di Eropa Barat. Beliau mengembalikan semangat jihad dan keadilan sosial, memperkuat infrastruktur Andalusia, dan menjadi teladan integritas kepemimpinan bagi generasi sesudahnya.
Sejarawan modern dari Cambridge University Press mencatat, “al-Ghafiqi adalah representasi dari generasi komandan Muslim yang menggabungkan ilmu, iman, dan taktik militer — sesuatu yang langka bahkan dalam sejarah Barat.”
Dari Andalusia Menuju Eropa
Perjuangan Abdurrahman al-Ghafiqi menunjukkan kekuatan sejati bukan hanya pada jumlah pasukan atau senjata, melainkan pada iman, disiplin, dan keadilan. Ia bukan hanya panglima perang, tapi juga pembangun peradaban.
Dari tangannya, lahir warisan Islam di Eropa yang masih terlihat hingga kini di kota-kota seperti Cordova, Toledo, dan Granada — simbol keemasan Andalusia yang menerangi dunia selama berabad-abad.
Taufik Hidaya, berbagai sumber