Aisyah Az Zahra Putri G.
Eduaksi | 2025-10-11 21:15:57

Dalam budaya sosial, banyak yang memaknai “laki-laki sejati” sebagai seorang yang memiliki karakteristik kuat, rasional, tahan terhadap tekanan, serta memiliki keteguhan mental. Sosok lelaki yang ideal dipandang sebagai individu yang tidak mudah goyah dalam kondisi apa pun. Budaya ini biasa disebut dengan toxic masculinity atau maskulinitas yang beracun. Budaya ini menekankan pada prinsip bahwa pria haruslah lebih daripada wanita. Nilai-nilai tersebut sudah muncul dan ditanamkan dari kecil lewat kalimat “jangan nangis, kamu kan laki-laki” atau “pria harus tahan banting”. Persepsi ini yang membuat banyak laki-laki tumbuh dengan budaya maskulinitas yang beracun.
Namun, pandangan inilah yang menyebabkan terciptanya sebuah paradoks yang mendalam. Norma-norma tersebut mendorong laki-laki untuk bersikap tangguh dalam kondisi apapun, hal ini menyebabkan banyak laki-laki yang memendam luka psikologis. Akibatnya, membuat banyak dari mereka mengalami gangguan mental dan bahkan hingga bunuh diri.
Sebagai buktinya, salah satu hasil riset dari WHO menyebutkan bahwa 80% pria melakukan bunuh diri di Amerika, atau 2,9% orang dari 100.000 orang melakukan bunuh diri (dimana pria mendominasi angka tersebut) disebabkan oleh rasa tidak mampunya pria menjalani peran sosial sebagai pria yang dibebankan oleh masyarakat kepadanya. (Novalina et al., 2021)
Hal ini dapat terjadi karena laki-laki cenderung diam dan mengisolasi perasaannya, lalu melakukan tindakan impulsif seperti bunuh diri atau sebagian dari mereka mengalihkan ke perilaku buruk, seperti kecanduan alkohol, melakukan kekerasan, dan perilaku buruk lainnya.
Untuk dapat mengatasi hal ini, kita perlu meluruskan konsep maskulinitas itu sendiri. Pada dasarnya maskulinitas sangat identik dengan karakteristik laki-laki yang tegas, jantan, berani, serta juga dapat berkaitan dengan fisik yang gagah. Namun, bukan berarti seorang pria yang menangis bukanlah pria jantan. Menangis merupakan ekspresi yang manusiawi dan tidak memandang gender.
Seharusnya kita sebagai masyarakat bisa berpendapat bahwa laki-laki yang menangis adalah laki-laki yang berani karena telah mengungkapkan emosi yang dimilikinya. Menangis dan mengungkapkan isi pikiran tidak akan menghilangkan sifat maskulinitas yang dimiliki oleh seorang pria. Hanya saja stereotype dari masyarakatlah yang membuat seakan-akan pria yang menangis bukanlah pria sejati.
Untuk itu kita harus menciptakan perubahan yang mendukung laki-laki untuk mengekspreksikan perasaannya sebagai bentuk kemanusiaan. Dengan membangun budaya baru yang memberikan ruang untuk laki-laki dapat berekspresi dan menjadi manusia seutuhnya, bukan hanya sebagai simbol kekuatan.
REFRENSI
Novalina, M., Starde Flegon, A., Valentino, B., Gea, I., Teologi, S. T., & Jakarta, E. (2021). Kajian Isu Toxic Masculinity di Era Digital dalam Perspektif Sosial dan Teologi. JURNAL EFATA, 8. https://wacana.org/toxic-masculinity-cikal-bakal-kekerasan-
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.