REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) memandang bahwa kunci transformasi menuju energi bersih terletak pada pembentukan ekosistem terintegrasi yang menghubungkan inovasi, kolaborasi dan keberlanjutan untuk mempercepat peralihan menuju energi rendah karbon di Indonesia. Direktur Transformasi dan Keberlanjutan Bisnis PT Pertamina (Persero) Agung Wicaksono mencontohkan penerapan pendekatan tersebut dalam pengembangan bahan bakar penerbangan berkelanjutan (sustainable aviation fuel/SAF) yang dihasilkan melalui kolaborasi antara Pertamina Patra Niaga, Kilang Pertamina Internasional, dan Pelita Air Service.
“Ke depan, bagaimana memastikan transformasi ini benar-benar terjadi? Kuncinya adalah dengan pendekatan ekosistem,” kata Agung dalam panel diskusi di Indonesia International Sustainability Forum (IISF), Jakarta, Sabtu (11/10/2025).
Dalam pengembangan SAF, Pertamina Patra Niaga bertugas mengumpulkan minyak jelantah dari masyarakat. Kilang Pertamina Internasional kemudian memprosesnya di kilang hijau (green refinery) menjadi SAF, sedangkan Pelita Air Service menggunakannya sebagai bahan bakar untuk penerbangan dari Jakarta ke Denpasar. Agung mengatakan inisiatif itu tidak hanya menekan emisi karbon hingga 84 persen, tetapi juga mendorong ekonomi sirkular, karena masyarakat dapat menukarkan minyak jelantah dengan insentif ekonomi yang bernilai.
Ia juga menilai bahwa keberhasilan pengembangan SAF perlu didukung kebijakan pemerintah, mengingat potensi bahan bakar berkelanjutan ini tidak hanya untuk Indonesia, tetapi juga kawasan regional. Selain SAF, Pertamina juga mengembangkan sumber energi rendah karbon lain seperti hidrogen hijau, melalui proyek percontohan di Ulubelu, Lampung.
Fasilitas tersebut akan menjadi yang pertama yang mengintegrasikan teknologi elektrolisis membran modern (anion exchange membrane/AEM) dengan energi panas bumi sebagai sumber listrik bersih.
“Kami menargetkan fasilitas ini beroperasi tahun depan. Kami juga bekerja sama dengan Toyota (dalam proyek pengembangan hidrogen hijau ini),” kata Agung.
Pertamina turut memperkuat dekarbonisasi di sektor hulu (upstream), yang memiliki potensi terbesar dalam pengurangan emisi karbon.
Saat ini, perusahaan tengah menyiapkan sejumlah proyek percontohan carbon capture and storage (CCS) serta carbon capture, utilization, and storage (CCUS) di wilayah Cekungan Sunda Asri, Gundih, dan Sukowati. Teknologi tersebut tidak hanya menekan emisi, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi minyak melalui enhanced oil recovery.
Agung mengungkapkan bahwa transformasi Pertamina dijalankan melalui dual growth strategy atau strategi pertumbuhan ganda. Di satu sisi, perusahaan tetap mengoptimalkan bisnis existing di sektor minyak dan gas serta pengolahan kilang untuk menjaga profitabilitas.
“Transformasi tidak akan terjadi jika hanya berfokus pada bisnis existing. Karena itu, mesin kedua dalam strategi pertumbuhan ganda kami adalah pengembangan bisnis rendah karbon,” katanya.
Melalui pendekatan ekosistem dan strategi ganda tersebut, Pertamina pun berupaya menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan agenda dekarbonisasi untuk mempercepat transisi menuju masa depan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
sumber : Antara